Filsafat Umum: Berfilsafat itu Mudah

Qomaruzzaman, Bambang (2020) Filsafat Umum: Berfilsafat itu Mudah. Cetakan pertama, 1 (I). Pustaka Aura Semesta, Bandung. ISBN 978-602-1523-43-8

[img]
Preview
Text
Filsafat Umum.pdf

Download (758kB) | Preview

Abstract

Filsafat selalu menjadi mata kuliah di semua prodi, apapun prodinya. Memangnya apa gunanya belajar filsafat? Atau kita bisa bertanya filsafat itu apa sih kok semua ilmu sepertinya tidak sah bila tanpa didasari filsafat? Alasan pertama adalah agar kita tidak terjebak pada kebenaran palsu. Kebenaran palsu adalah kebenaran yang seakanakan benar, padahal tidak memiliki dasar sama sekali. Mari kita lihat satu persatu alasannya. Hidup kita ini selalu didasari oleh pemahaman kita. Apa yang kita pahami, itulah yang kita lakukan. Sayangnya pemahaman yang kita miliki tak terjamin kebenarannya. Pemahaman kita lebih dibangun oleh “kebiasaan” banyak orang di sekitar kita. Pemahaman yang dibangun oleh “kebiasaan” dapat kita sebut sebagai “kebenaran awam”. Hukumnya memang begitu. Manusia terlalu rapuh untuk “langsung” memahami sesuatu secara benar. Akal manusia sangat dipengaruhi oleh “kebiasaan” masyarakatnya. Rumusannya sangat sederhana, segala sesuatu yang dilakukan banyak orang, dalam waktu lama, dan terus-menerus akan dianggap sebagai sesuatu yang wajar, lazim, dan “benar”. Misalnya, buang sampah secara sembarangan bukanlah perilaku terpuji. Namun, karena kita ada di tengah masyarakat yang selalu buang sampah sembarangan, tak hanya satu orang yang melakukannya bahkan tokoh masyarakatpun buang sampah sembarangan, dan itu kita lihat sejak kita masih kanak-kanak; maka kitapun tak pernah merasa bersalah ‘membuang sampah sembarangan’. Di sini kita sudah dapat rumus awal: Tindakan/ ucapan yang : dilakukan banyak orang + secara berulang-ulang + dalam waktu lama = kebiasaan Kebiasaan itu lalu dianggap sebagai sesuatu yang wajar, dan hal yang wajar seraya disebut sebagai benar. Wajar karena semua orang juga melakukannya. Ketika semua orang melakukan satu hal yang sama, maka itulah yang benar. Jika kita berani berbeda dari kebiasaan orang banyak, biasanya kita akan dianggap sebagai “aneh”, “melawan arus”, lalu “disalahkan” oleh orang banyak. Inilah logika kebenaran awam. Filsafat melawan kecenderungan ini. Manusia, kita ini, tak bisa dibiarkan “bertindak berdasar kebiasaan”. Mending “kebiasaan” itu lahir dari masyarakat yang baik-baik, kalau “kebiasaan” itu lahir dari masyarakat penuh kejahatan celakalah kita. Pada saat menganggap “ketidakbaikan” sebagai kebaikan yang wajar, saat itulah kita merasa benar dalam ketidakbaikan. Sungguh, apa yang ada di tengah masyarakat kita tak sepenuhnya memiliki kebenaran. Ada saja aspek tertentu yang harus kita tinjau ulang. Uniknya, para Nabi dalam ajaran Islam muncul sebagai tokoh yang menyeru pada kebenaran baru yang berbeda dari kebiasaan masyarakatnya. Misalnya, Nabi Yunus ditentang oleh ummatnya dengan argumen “Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya, dan supaya kamu berdua mempunyai kekuasaan di muka bumi? Kami tidak akan mempercayai kamu berdua” (QS. 10:78). Inilah prinsip pertama dari filsafat: kebenaran itu tak bisa langsung ditemukan, ia disembunyikan oleh sejumlah kebiasaan yang belum tentu benar. Lalu apa yang harus kita lakukan agar menemukan kebenaran itu? Bertanyalah dengan kata: kenapa?

Item Type: Book
Divisions: Fakultas Ushuluddin > Program Studi Aqidah Filsafat
Depositing User: Bambang Qomaruzzaman
Date Deposited: 22 Sep 2020 08:29
Last Modified: 22 Sep 2020 08:29
URI: https://etheses.uinsgd.ac.id/id/eprint/33667

Actions (login required)

View Item View Item