Perlindungan hukum bagi pelapor tindak pidana korupsi (whistleblower) oleh Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK) berdasarkan undang-undang nomor 31 tahun 2014

Ahmad, Sujana (2025) Perlindungan hukum bagi pelapor tindak pidana korupsi (whistleblower) oleh Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK) berdasarkan undang-undang nomor 31 tahun 2014. Masters thesis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

	Text (COVER) cover.pdf Download (144kB)
	Text (ABSTRAK) ABSTRAK.pdf Download (197kB)
	Text (DAFTAR ISI) Daftrar Isi fiks02.pdf Download (206kB)
	Text (BAB I) BAB I.pdf Download (441kB)
	Text (BAB II) BAB II.pdf Restricted to Registered users only Download (425kB)
	Text (BAB III) BAB III.pdf Restricted to Registered users only Download (214kB)
	Text (BAB IV) BAB IV.pdf Restricted to Registered users only Download (377kB)
	Text (BAB V) BAB V.pdf Restricted to Registered users only Download (187kB)
	Text (DAFTAR PUSTAKA) DAFTAR PUSTAKA.pdf Restricted to Registered users only Download (291kB)

Abstract

INDONESIA: Pelapor tindak pidana korupsi (whistleblower) memegang peranan strategis dalam membongkar praktik korupsi yang kerap kali tidak terdeteksi oleh lembaga audit internal maupun eksternal. Dalam konteks hukum Indonesia, perlindungan terhadap whistleblower telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014. Meskipun kerangka hukum ini telah ada, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa perlindungan terhadap pelapor masih belum optimal. Banyak whistleblower menghadapi risiko serius seperti kriminalisasi, intimidasi, tekanan sosial, bahkan pemecatan dari tempat kerja, ini menunjukkan adanya celah dalam implementasi hukum yang menimbulkan masalah hukum, yakni tidak terpenuhinya hak atas perlindungan yang seharusnya dijamin oleh negara. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi perlindungan hukum bagi pelapor tindak pidana korupsi di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta menilai efektivitas peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam memberikan perlindungan kepada whistleblower. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi tantangan utama yang dihadapi dalam pelaksanaan kebijakan perlindungan pelapor dan memberikan rekomendasi untuk meningkatkan efektivitas perlindungan hukum bagi pelapor tindak pidana korupsi. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan statute approach. Pendekatan statute approach digunakan untuk menganalisis regulasi yang mengatur perlindungan bagi whistleblower, terutama Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 serta kebijakan yang diterapkan oleh LPSK dan lembaga penegak hukum lainnya. Teknik analisis data dilakukan dengan menggunakan metode analisis kualitatif, yaitu dengan menafsirkan aturan hukum yang berlaku guna memahami efektivitas kebijakan perlindungan hukum bagi pelapor tindak pidana korupsi. Hasil berbagai penelitian menunjukkan bahwa perlindungan hukum terhadap whistleblower dalam sistem hukum Indonesia masih menghadapi tantangan serius, terutama dalam aspek implementasi regulasi. Secara normatif keberadaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014. Bahwa mekanisme yang tersedia belum sepenuhnya mampu memberikan rasa aman dan perlindungan nyata bagi para pelapor. Mekanisme perlindungan pelapor tindak pidana korupsi mengungkapkan bahwa rendahnya efektivitas perlindungan disebabkan oleh lemahnya sistem terpadu yang mengakomodasi kebutuhan perlindungan secara cepat dan menyeluruh. Oleh karena itu, diperlukan pembenahan menyeluruh, baik pada aspek regulasi, kelembagaan, maupun sistem perlindungan yang berbasis pada prinsip perlindungan hak asasi manusia. Dengan mekanisme yang lebih kuat, dapat tercipta iklim pelaporan yang aman, transparan, dan mendukung upaya pemberantasan korupsi secara berkelanjutan di Indonesia. ENGLISH: Whistleblowers of corruption crimes play a strategic role in uncovering corrupt practices that often go undetected by both internal and external audit institutions. Within the context of Indonesian law, the protection of whistleblowers is regulated Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014. Although this legal framework exists, the reality on the ground shows that the protection provided to whistleblowers remains suboptimal. Many whistleblowers face serious risks such as criminalization, intimidation, social pressure, and even dismissal from their workplaces. This reflects a gap in the implementation of the law, leading to legal issues concerning the unfulfilled right to protection that should be guaranteed by the state. This study aims to analyze the implementation of legal protection for whistleblowers in Indonesia based on Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 on the Protection of Witnesses and Victims, and to assess the effectiveness of the role of the Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) in providing protection to whistleblowers. Furthermore, this research seeks to identify key challenges in the implementation of whistleblower protection policies and to provide recommendations for enhancing the effectiveness of legal protection for whistleblowers of corruption crimes. This research employs a normative juridical method using a statute approach. The statute approach is used to analyze regulations governing the protection of whistleblowers, particularly Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, as well as policies implemented by LPSK and other law enforcement institutions. Data analysis is conducted using qualitative analysis methods, by interpreting applicable legal norms to understand the effectiveness of whistleblower protection policies. The findings of various studies indicate that legal protection for whistleblowers within Indonesia’s legal system continues to face significant challenges, especially in terms of regulatory implementation. Normatively, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 provides a legal basis for such protection; however, the existing mechanisms have not fully ensured a sense of safety and tangible protection for whistleblowers. Research further reveals that the lack of an integrated system capable of promptly and comprehensively addressing protection needs contributes to the low effectiveness of current safeguards. Therefore, comprehensive reform is needed—covering regulatory, institutional, and systemic aspects—grounded in the principles of human rights protection. With stronger mechanisms in place, a safe, transparent, and supportive reporting environment can be fostered to advance sustainable anti-corruption efforts in Indonesia.

Actions (login required)

View Item