Hak Wali Mujbir dalam perkawinan menurut al-Syafi‘i dan Abu Hanifah ditinjau dari perspektif gender serta Transformasinya dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Syamsoni, Ujang Ruhyat (2013) Hak Wali Mujbir dalam perkawinan menurut al-Syafi‘i dan Abu Hanifah ditinjau dari perspektif gender serta Transformasinya dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Masters thesis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

[img]
Preview
Text (COVER)
1_Cover.pdf

Download (302kB) | Preview
[img]
Preview
Text (ABSTRAK)
2_ABSTRAK.pdf

Download (392kB) | Preview
[img]
Preview
Text (DAFTAR ISI)
3_DAFTAR ISI.pdf

Download (407kB) | Preview
[img]
Preview
Text (BAB I)
4_BAB I.pdf

Download (703kB) | Preview
[img] Text (BAB II)
5_BAB II.pdf
Restricted to Registered users only

Download (1MB)
[img] Text (BAB III)
6_BAB III.pdf
Restricted to Registered users only

Download (1MB)
[img] Text (BAB IV)
7_BAB IV.pdf
Restricted to Registered users only

Download (310kB)
[img]
Preview
Text (DAFTAR PUSTAKA)
8_DAFTAR PUSTAKA.pdf

Download (442kB) | Preview

Abstract

Hak ijbar merupakan suatu kekuasaan yang diberikan kepada seseorang (wali mujbir) untuk menikahkan anak perempuan yang berada dalam perwaliannya walaupun tanpa dimintai persetujuannya. Terjadi perbedaan pandangan tentang konsep hak ijbar tersebut diantara para imam madzhab dan Undang-undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia. Munculnya perbedaan pandangan mengenai konsep hak wali ijbar disebabkan adanya perbedaan penafsiran terhadap teks hadits Nabi. Hak ijbar seharusnya dimaknai sebagai bentuk perlindungan atau tanggung jawab seorang ayah terhadap anaknya karena adanya anggapan bahwa anak perempuannya belum atau tidak memiliki kemampuan untuk bertindak sendiri dalam pernikahan. Adanya anggapan itu mengindikasikan adanya bias gender dalam keluarga yang menganggap perempuan lemah akal. Padahal dalam Islam hak antara laki-laki dan perempuan setara tanpa diskriminasi berdasarkan jenis kelaminnya termasuk pemilihan pasangan hidup. Permasalahan yang diangkat dalam Tesis ini adalah (1) Bagaimana pandangan Al-Syafi’i dan Abu Hanifah tentang hak wali ijbar dan latar belakang istinbath al-ahkamnya?; (2) Bagaimana hak wali ijbar menurut pendapat Al-Syafi’i dan Abu Hanifah ditinjau dari perspektif gender; (3) Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat al-Syafi‘i dan Abu Hanifah tentang wali mujbir? (4) Bagaimana rumusan konsep dan relevansi hak wali ijbar menurut pendapat Al-Syafi’i dan Abu Hanifah dalam Pasal 6 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974; (5) Bagaimana transformasi hak wali ijbar dalam perkawinan menurut al Syafi’i dan Abu Hanifah dalam pasal 6 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ditinjau dari perspektif gender; (6) Bagaimana prospek pengembangan hak wali ijbar dalam perkawinan menurut al-Syafi’i dan Abu Hanifah ditinjau dari perspektif gender. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan jenis data library research. Teori yang digunakan adalah teori ijtihad, teori perbandingan hukum, teori transformasi yang memadukan relasi hukum agama dan negara, serta pendekatan teori gender sebagai salah satu pisau análisis (tool of analysis). Berdasarkan análisis terhadap data yang terkumpul dihasilkanlah beberapa simpulan bahwa hak wali ijbar wali menurut pandangan Syafi’i diberlakukan bagi anak gadis yang masih kecil maupun yang sudah dewasa. Sedangkan Abu Hanifah memberlakukan hak wali ijbar hanya kepada anak perempuan yang masih di bawah umur atau belum dewasa atau kepada anak yang kurang sempurna akalnya (gila/majnunah) baik berstatus gadis ataupun janda. Faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan pandangan karena berbedanya cara memahami teks hadits Nabi SAW dan metode istinbath al-ahkam yang digunakan. Menurut teori gender hak wali ijbar tidak mencerminkan keadilan gender karena merampas kebebasan hak bagi anak perempuan untuk memilih pasangan hidup sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Ketidakadilan gender yang ditunjukkan dalam penggunaan hak wali ijbar saat ini dirasa harus ditafsirkan kembali. Hal itu telah dirumuskan dan ditransformasikan dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat (1) bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai.

Item Type: Thesis (Masters)
Uncontrolled Keywords: Hukum Islam ; Pernikahan ; as -Syafi'i
Subjects: Fikih (Fiqih, Fiqh), Hukum Islam
Fikih (Fiqih, Fiqh), Hukum Islam > Hukum Keluarga dan Hukum Perkawinan, Pernikahan menurut Islam
Divisions: Pascasarjana Program Magister > Program Studi Hukum Islam dan Pranata Sosial
Depositing User: Zulfa Sofyani Putri
Date Deposited: 10 Jan 2019 02:50
Last Modified: 10 Jan 2019 02:50
URI: https://digilib.uinsgd.ac.id/id/eprint/17945

Actions (login required)

View Item View Item